A.
Latar Belakang Lahirnya Orde Baru
1.
Terjadinya G30SPKI
G30SPKI
merupakan suatu gerakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Gerakan
ini membuat kondisi ketertiban dan stabilitas di Indonesia menjadi kacau.
Soeharto ( yang nanti akan menjadi presiden di orde baru ) pun diperintahkan
untuk menanganinya. Hal ini membuat Soeharto mendapat integritas yang kuat.
2.
Keadaan Perekonomian Memburuk
Keadaan
Perekonomian yang kian hari kian memburuk , terjadi inflasi sebanyak 6x lipat ,
kenaikan harga bahan bakar , devlauasi nilai rupiah.
3.
Menentang G30SPKI
Rakyat
sangat marah terhadap Gerakan 30 September dan mengutuk segala perbuatan yang
dilakukan oleh PKI. Rakyat menuntut agar PKI dibubarkan dan tokoh - tokoh PKI
dihakimi. Hal ini terjadi karena PKI telah banyak melakukan tindakan – tindakan
keji terhadap rakyat.
4.
Pembentukan Front Pancasila
Beberapa
kesatuan organisasi seperti KAPPI , KAPPI , KAMI , KASI bergabung membentuk
Front Pancasila atau Angakatan 66 untuk menghancurkan tokoh G30SPKI.
5. Tiga Tuntutan Rakyat ( Tritura )
Tiga Tuntutan Rakyat atau yang sering dikenal dengan
Tritura ini berisi :
1.
Pembubaran
organisasi PKI
2.
Pembersihan
Kabinet Dwikora
3.
Penurunan
harga-harga barang
5.
Merosotnya Wibawa Soekarno
Kekuasaan
dan wibaba Presiden Soekarno semakin merosot setelah usaha untuk mengadili
tokoh yang ikut dalam Gerakan 30 September 1965.
6.
TAP MPRS No XXXIII / 1967 MPRS
TAP MPRS No
XXXIII / 1967 MPRS ini berisi pencabutan jabatan presiden dari Presiden
Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi presiden. Tanggal 12 Maret 1967 .
Soeharto diangkat menjadi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah
berlakunya Supersemar , kehidupan berbangsa dan bernegara pun mulai ditata.
Dengan dikeluarkannya Supersemar , pemerintah mendapat kepercayaan dari rakyat
dan semakin meningkat. Namun setelah itu terjadi masalah dualisme. Soekarno
sebagai presiden dan Soeharto menjadi pelaksana pemerintah. Masalah ini membuat
Soeharto naik daun apalagi Soekarno menulis surat pengunduran diri dan
menyerahkan kekuasaan pada Soeharto. Tanggal 23 Februari 1967 , MPRS mengadakan
sidang untuk membicarakan tentang surat pengunduran diri Soekarno dan ingin
mengangkan SOeharto menjadi presiden. Akhirnya Soeharto diangkat menjadi
presiden pada tanggal 12 Maret 1967 atas dasar TAP MPRS No XXXIII / 1967 MPRS.
B.
LAHIRNYA SURAT PERINTAH 11 MARET 1966
Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret
yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang
dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam
buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai
versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan
oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Keluarnya Supersemar
Supersemar
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya
supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet
Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada
saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai
panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan
liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan
diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang
yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana
Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana
Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara
Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden
menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan
Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa
G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri
sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto
dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu
situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi
(AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir
Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada
malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden
Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan
bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila
diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya
untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden
Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat
perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer
dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku
panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban.
Supersemar2
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD
Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telpon
dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966
sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI
disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat
berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar
itu tiba.
Beberapa Kontroversi tentang Supersemar
Supersemar Versi AD
Supersemar Versi Lain
·
Menurut penuturan salah satu dari ketiga
perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca
kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah
seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini
khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli
Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan
hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku
sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal
dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada
pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
·
Menurut kesaksian salah satu pengawal
kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo
Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai
media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan
pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir
ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira
melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean.
Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo
Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen
Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar
Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat
Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang
saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah
para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan
pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani
surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi
sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika
keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan
kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari
istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden
Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah
diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu
Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di
sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa
kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku
sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M
Panggabean membantah peristiwa itu.
·
Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam
bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan
duta besar Indonesia di Kuba yang
dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia
membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa
adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral
lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966
dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada
saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk
keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri
atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari
kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di
Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga
jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor,
menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya
mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud
menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno
di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada
saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang
disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong,
sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi
demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank
ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya
Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan
dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama
dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral
Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam,
tidak hadir.
·
Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya
yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang
mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali
Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen
Resimen Tjakrabirawa.
·
Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan
asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana
Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat
yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop
kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang
atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, Arsip Nasional telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga
akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu
gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan,
bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip
Nasional itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden
Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan
Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan
dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah
salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.
C.
JATUHNYA
PEMERINTAHAN ORDE BARU
Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto berkuasa
di Indonesia selama 32 tahun mengalami keruntuhan pada 21 Mei 1998. Keruntuhan
pemerintahan Orde Baru diawali dengan terjadinya krisis multidimensional yang
melanda Indonesia sebelum jatuhnya Soeharto.
1. Terjadinya Krisis Multidimensional
a. Krisis politik
Kemenangan mutlak Golongan Karya dalam pemilu pada tahun 1997 yang
dirasakan penuh dengan kecurangan merupakan salah satu awal dari munculnya
krisis politik di Indonesia. Golongan Karya yang secara nyata dan jelas didukung
oleh pemerintah baik secara finansial maupun secara moril memperoleh suara
mayoritas. Kebijaksanaan pemerintah pun juga lebih banyak menguntungkan
Golongan Karya, sehingga menjadi single majority (mayoritas tunggal).
Kemenangan Golongan Karya yang dinilai oleh para tokoh pengamat politik
di Indonesia sebagai pemilu yang tidak jujur dan adil, karena adanya intimidasi
dan ancaman bagi pemilih, terutama di daerah pedesaan. Kemenangan Golongan
Karya dalam pemilu tahun 1997 tersebut diikuti oleh kebijaksanaan mendukung
kembali kepada Jenderal Purnawirawan Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina
Golongan Karya untuk dicalonkan kembali sebagai presiden pada sidang umum MPR
tahun 1998. Hasil sidang umum MPR 1998 akhlmya mendukung Jenderal Purnawirawan
Soeharto untuk menjadi presiden untuk periode tahun 1998 sampai tahun 2003.
Penerapan demokrasi Pancasila yang berjalan selama Orde Baru ternyata membawa ketidakpuasan bagi rakyat Indonesia. Karena aspirasi rakyat tidak dapat tersalurkan dan kurang mendapat perhatian oleh pemerintah. Penerapan politik lebih berpihak kepada golongan tertentu saja, terutama bagi para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 sudah disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya di tangan MPR. Akan tetapi dalam pelaksanaannya anggota MPR yang seharusnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu, ternyata sebagian besar dari anggotanya telah diangkat dengan sistem nepotisme. Akibatnya kinerja MPR tidak akan memperjuangkan rakyat, akan tetapi lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan saja.
Penerapan demokrasi Pancasila yang berjalan selama Orde Baru ternyata membawa ketidakpuasan bagi rakyat Indonesia. Karena aspirasi rakyat tidak dapat tersalurkan dan kurang mendapat perhatian oleh pemerintah. Penerapan politik lebih berpihak kepada golongan tertentu saja, terutama bagi para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 sudah disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya di tangan MPR. Akan tetapi dalam pelaksanaannya anggota MPR yang seharusnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu, ternyata sebagian besar dari anggotanya telah diangkat dengan sistem nepotisme. Akibatnya kinerja MPR tidak akan memperjuangkan rakyat, akan tetapi lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan saja.
Melihat kehidupan politik yang seperti itu maka muncullah gerakan
reformasi. Gerakan reformasi ini dimotori oleh kalangan akademisi dari berbagai
universitas yang didukung oleh mahasiswa dan para dosen. Tuntutan reformasi
dalam bidang politik menuntut adanya pergantian presiden, reshufle kabinet,
Sidang : Istimewa MPR dan pemilu secepatnya. Gerakan reformasi menuntut
dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dan MPR
yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket UU Politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, antara lain:
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket UU Politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, antara lain:
1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
2) UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR
2) UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR
3) UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya
4) UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
5) UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
4) UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
5) UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
b. Berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme
Pada masa pemerintahan Orde Baru, adanya
gejala perkembangan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal Ini disebabkan
kebijakan pemerintah berpeluang untuk KKN. Misalnya dalam kebijakan BPPT, mobil
nasional yang bernuansa politik dan kekeluargaan yang menuju pada korupsi. Hal ini
jelas merugikan keuangan negara, bahkan dalam pengadaan mobil nasional belum
sesuai dengan aturan ITO, akibatnya Indonesia dianggap melanggar aturan
perdagangan dunia di bidang automotif. Dalam penegakan hukum kolusi menyebabkan
pemberlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan baik dalam jabatan atau
fasilitas yang memicu lahirnya reformasi di Indonesia.
c. Krisis ekonoml
Pada bulan Juli tahun 1997 di kawasan Asia
Tenggara terjadi krisis moneter yang pengaruhnya sampai ke Indonesia. Krisis
ekonoml dl Indonesia diawali dari lemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata
uang dolar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997 nilai tukar rupiah
turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 5.000,00 pada bulan Deaember. Dalam
beberapa bulan bahkan rupiah mengalami penurunan nilai tukar terhadap dolar
yaitu berkisar hlngga Rp. 12.000,00 per dolar
Seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika, pertumbuhan ekonomi mengalami kelesuan. Para nasabah
bank banyak yang menarik dananya dari bank-bank nasional lalu menukarnya dengan
dolar. Sedangkan bank nasional tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah
merosotnya nilai tukar rupiah sementara bank-bank nasional mengalami kerugian
dan kesulitan dana.
Untuk membantu mengatasi krisis pemerlntah mengambil langkah dengan meminta bantuan kepada bantuan Dana Moneter Internaslonal (International Monetary Fund/IMF). Atas usulan IMF, maka pada akhir tahun 1.997 pemerlntah mengadakan likuidasi terhadap 16 bank swasta. Masyarakat mengalaml kepanikan, aklbatnya masyarakat menarik dana-dana yang maslh terslsa dalam bank-bank swasta nasional lalu menyimpannya dl bank-bank asing. Hal Ini mengakibatkan bank-bank swasta nasional semakin terpuruk.
Untuk membantu mengatasi krisis pemerlntah mengambil langkah dengan meminta bantuan kepada bantuan Dana Moneter Internaslonal (International Monetary Fund/IMF). Atas usulan IMF, maka pada akhir tahun 1.997 pemerlntah mengadakan likuidasi terhadap 16 bank swasta. Masyarakat mengalaml kepanikan, aklbatnya masyarakat menarik dana-dana yang maslh terslsa dalam bank-bank swasta nasional lalu menyimpannya dl bank-bank asing. Hal Ini mengakibatkan bank-bank swasta nasional semakin terpuruk.
Dalam mengatasi masalah krisis perbankan,
pemerintah melakukan program rekapitulasi perbankan dengan mendirikan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk menyembuhkan bank-bank
yang sakit agar dapat beroperasl kembali. Pemerlntah memberikan anggara sebesar
670 triliun rupiah. Tetapi usaha pemerlntah tersebut tidak berhasil untuk
mengatasi masalah perbankan, karena pihak-pihak swasta tidak dapat
mengembalikan utangnya. Beban utang tersebut akhirnya menjadi tanggungan dari
pemerintah, yang dampaknya semakin menurunya kepercayaan dunia internaslonal.
Krisis moneter tersebut akhirnya berdampak
terhadap krisis ekonomi bagi bangsa Indonesia. Selain krisis moneter juga
adanya hutang luar negerl Indonesia yang sudah cukup tinggi yaitu mencapai 65
miliar dolar Amerika dan utang swasta mencapai 78 miliar dolar Amerika. Sedangkan
hasil pembangunan selama Orde Baru tidak bisa mengimbangi jumlah hutang luar
negeri yang harus ditanggung.
Pada bulan Maret tahun 1998 terjadi krisis moneter kembali dimana nilai rupiah turun mencapai Rp. 16. 000,00 per dolar Amerika -Serikat. Akibatnya hutang luar negeri Indonesia semakin membekak dan kepercayaan dunia internaslonal semakin berkurang. Sedangkan perdagangan luar negeri semakin lesu karena para pedagang luar negeri tidak percaya lagi terhadap para importir Indonesia. Hampir semua negara tidak menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia.
Pada bulan Maret tahun 1998 terjadi krisis moneter kembali dimana nilai rupiah turun mencapai Rp. 16. 000,00 per dolar Amerika -Serikat. Akibatnya hutang luar negeri Indonesia semakin membekak dan kepercayaan dunia internaslonal semakin berkurang. Sedangkan perdagangan luar negeri semakin lesu karena para pedagang luar negeri tidak percaya lagi terhadap para importir Indonesia. Hampir semua negara tidak menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia.
d. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pemerintah Orde Baru berencana menjadikan
negara Republik Indonesia sebagai .negara industri, namun tidak
mempertimbangkan kenyataan perekonomian di tengah masyarakat. Masyarakat
Indonesia merupakan agraris dan tingkat pendidikannya masih belum memadahi,
sehingga sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri yang
hidupnya dinamis dan berpikiran maju. Rendahnya tingkat pendidikan dari
sebagian masyarakat sulit untuk bersaing dengan tenaga. kerja asing yang maju
pendidikannya.
Pengaturan perekonomian di zaman Orde Baru
sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur
dalam UUD 1945 Pasal 33, yang tercantum dasar demokrasi ekonomi. Produksi
dikerjakan oleh semua untuk kesejahteraan bersama dalam masyarakat, sehingga
perekonomian disusun atas asas bersama berdasar kekeluargaan dan yang paling
cocok adalah bentuk koperasi. Oleh karena itu cabang produksi yang menguasai
hajat orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Tetapi kenyataan yang be.rkembang pada masa Orde Baru
adalah ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh segelintlr orang-orang kaya atau
para konglomerat dengan berbagai bentuk adanya monopoli, oligopoli, sehingga
yang sejahtera hanya segelintir orang dari jutaan rakyat Indonesia,
e. Krisis hukum
Praktik hukum pada masa Orde Baru terdapat
banyak ketidakadilan. Hal Ini terlihat pada kekuasaan kehakiman yang dinyatakan
pada Pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas
dari kekuasaan pemerintah (eksekutif). Namun pada kenyataannya kekuasaan
kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, pengadllan
sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim-hakim harus tunduk pada
kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas
tindakan dan kebijakan pemerintah, jika terjadi peradilan yang menyangkut diri
penguasa atau para pejabat hukum sering direkayasa dalam pelaksanaan
peradilannya untuk pembenarannya.
Kondisi yang demikian sangat memprihatinkan maka reformasi hukum perlu segera dilaksanakan dalam mendudukkan masalah-masalah hukum pada posisi atau kedudukan yang sebenamya. Reformasi hukum hendaknya dipercepat untuk menyongsong era globalisasi yang memerlukan kesiapan dalam bentuk praktik hukum di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang menuju masyarakat yang adil dan merata. Untuk menyongsong hal tersebut maka perlu dipersiapkan aparatur pembentuk perangkat hukum yang bersih dan berwibawa agar praktik hukum di tengah masyarakat memperoleh keadilan yang sesungguhnya.
Kondisi yang demikian sangat memprihatinkan maka reformasi hukum perlu segera dilaksanakan dalam mendudukkan masalah-masalah hukum pada posisi atau kedudukan yang sebenamya. Reformasi hukum hendaknya dipercepat untuk menyongsong era globalisasi yang memerlukan kesiapan dalam bentuk praktik hukum di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang menuju masyarakat yang adil dan merata. Untuk menyongsong hal tersebut maka perlu dipersiapkan aparatur pembentuk perangkat hukum yang bersih dan berwibawa agar praktik hukum di tengah masyarakat memperoleh keadilan yang sesungguhnya.
f. Krisis kepercayaan
Pada masa pemerintahan Orde Bam terjadi
praktik KKN di segala bidang. Akibatnya timbul ketidakadilan, kesenjangan
sosial orang-orang kaya, para konglomerat hidup berkelimpahan, rakyat hidup
dalam kesengsaraan dan kemiskinan, rusaknya sistem politik dan sistem ekonomi.
Krisis multidimensi yang melanda bangsa
Indonesia telah menambah keterpurukan bangsa serta mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Aksi mahasiswa dilakukan
agar pemerintah memperbaiki situasi yang semakin tidak menentu. Untuk
memperbaiki situasi maka awal Maret 1998 presiden melantik Kabinet Pembangunan
VII, namun tidak juga mengalami perubahan yang berarti. Mahasiswa melakukan
aksi keprihatinan menuntut turunnya harga sembako, dihapuskan korupsi, kolusi
dan nepotisme dan menuntut turunnya Soeharto dari presiden. Demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa semakin gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga
BBM pada tanggal 4 Mei 1998.
Pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi tragedi
Trisakti. yakni di kala mahasiswa dari Universitas Trisakti berdemonstrasi,
semula dengan cara damai namun berubah menjadi aksi kekerasan, akibatnya empat orang
mahasiswa tertembak, yakni Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hendriawan dan
Hafidhin Royan. Tidak sedikit para demonstran yang mengalami luka ringan dan
luka parah akibat bentrokan itu.
Di Jakarta, Solo, dan kota-kota lain pada tanggal 13 dan 14 Mei terjadi kerusuhan yaitu tindakan anarkis dan penjarahan serta pembakaran terhadap toko-toko dan kendaraan terutama milik keturunan Cina, bahkan banyak mayat yang telah terbakar ditemukan di pusat-pusat pertokoan. Keadaan tersebut berakibat adanya rasa cemas dari orang-orang yang hidup di perkotaan.
Di Jakarta, Solo, dan kota-kota lain pada tanggal 13 dan 14 Mei terjadi kerusuhan yaitu tindakan anarkis dan penjarahan serta pembakaran terhadap toko-toko dan kendaraan terutama milik keturunan Cina, bahkan banyak mayat yang telah terbakar ditemukan di pusat-pusat pertokoan. Keadaan tersebut berakibat adanya rasa cemas dari orang-orang yang hidup di perkotaan.
Ketika peristiwa Mei terjadi, Presiden
Soeharto sedang berada di Kairo (Mesir) dalam rangka menghadiri KTT Non-Blok
ke-15. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Soeharto kembali ke Indonesia, namun
tuntutan masyarakat agar ia mengundurkan diri semakin marak.
Keadaan yang terjadi pada saat itu sangat
memprihatinkan juga bagi rakyat di Yogyakarta, maka mereka mengadakan pasowanan
ageng di alun-alun dan mendengarkan maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang
menganjurkan untuk tetap menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk mengantisipasi keadaan pada waktu itu
Presiden Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998 berupaya memperbaiki program Kabinet
Pembangunan VII dengan melahirkan kabinet Reformasi dan mengumumkan pembentukan
Dewan Reformasi. Langkah yang dilakukan bertujuan memperbaiki kondisi
pemerintahan, namun kondisi negara tidak segera membaik.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 10.00
WIB Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden Republik
Indonesia dan menyerahkan jabatan Presiden kepada Wakil Presiden RI, B.J.
Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden
Republik Indonesia yang baru.
PENYEBAB
JATUHNYA ORDE BARU
Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Berikut ini kronologi
jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998.
a. Tanggal 12 Mei 1998 (Tragedi di Kampus Trisakti)
Peristiwa
tragedi di kampus Trisakti ini sungguh sangat disesalkan. Sejumlah aparat
keamanan yang kurang memiliki perasaan kemanusiaan mengarahkan senjatanya untuk
menembaki mahasiswa di kampus Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta.
Saat itu, empat
mahasiswa gugur sebagai pahlawan reformasi. Mereka adalah mahasiswa Usakti yang
terdiri dari Elang Mulya Lesmana (mahasiswa teknik arsitektur), Hafidin Royan
(mahasiswa ekonomi), Hari Haryanto (mahasiswa ekonomi), dan Hendriawan
(mahasiswa ekonomi).
b. Tanggal 16 Mei 1998 (Rencana Reshuffle Kabinet)
Ketua
DPR-MPR Harmoko bersama keempat wakilnya, Abdul Gafur, Syarwan Hamid, Ismail
Hassan Metareum, dan Fatimah Achmad, mengadakan konsultasi dengan Presiden
Soeharto di Cendana.
Harmoko menjelaskan
konsultasi itu kepada pers bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle
Kabinet Pembangunan VII. Ini dimaksudkan untuk menciptakan kabinet yang lebih
tangguh dan kuat.
c. Tanggal 18 Mei 1998 (Mahasiswa Tolak Reshuffle dan Tuntut Soeharto Mundur)
Keluarga
Besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, yang terdiri dari para dosen dan
mahasiswa yang mencapai 15 ribu orang dengan penuh semangat melakukan aksi
menolak prakarsa Presiden Soeharto untuk melakukan reshuffle kabinet.
Mereka berkumpul di
Balairung UGM. Dalam acara itu dibacakan pernyataan sikap yaitu menuntut
Presiden Soeharto mundur sebagai syarat reformasi total, kembalikan ABRI kepada
rakyat, dan tolak segala tindakan kekerasan dalam memperjuangkan reformasi.
d. Tanggal 21 Mei 1998 (Presiden Soeharto Lengser Keprabon)
Soeharto
akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan sesuai dengan Pasal 8
UUD 1945, Wapres prof. Dr. Ing. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu
jabatan presiden/Mandataris MPR periode 1998-2003.
SUMBER
:
http://materiku86.blogspot.co.id/2016/03/penyebab-dan-kronologi-jatuhnya-pemerintahan-orde-baru.html
No comments:
Post a Comment
welcome !!!