UA-85119234-1

Entri yang Terpopuler

ARTIKEL TENTANG TOOL ICON PADA COREL DRAW | YM BLOG

Pengertian Microsoft CorelDRAW             CorelDRAW adalah aplikasi design grafis yang digunakan untuk membuat berbagai macam desig...

Saturday, August 13, 2016

Kronologi Lahirnya Orde Baru Di Indonesia | YM BLOG



A.                Latar Belakang Lahirnya Orde Baru

1.                    Terjadinya G30SPKI
G30SPKI merupakan suatu gerakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Gerakan ini membuat kondisi ketertiban dan stabilitas di Indonesia menjadi kacau. Soeharto ( yang nanti akan menjadi presiden di orde baru ) pun diperintahkan untuk menanganinya. Hal ini membuat Soeharto mendapat integritas yang kuat.

2.                       Keadaan Perekonomian Memburuk
Keadaan Perekonomian yang kian hari kian memburuk , terjadi inflasi sebanyak 6x lipat , kenaikan harga bahan bakar , devlauasi nilai rupiah.

3.                       Menentang G30SPKI
Rakyat sangat marah terhadap Gerakan 30 September dan mengutuk segala perbuatan yang dilakukan oleh PKI. Rakyat menuntut agar PKI dibubarkan dan tokoh - tokoh PKI dihakimi. Hal ini terjadi karena PKI telah banyak melakukan tindakan – tindakan keji terhadap rakyat.

4.                       Pembentukan Front Pancasila
Beberapa kesatuan organisasi seperti KAPPI , KAPPI , KAMI , KASI bergabung membentuk Front Pancasila atau Angakatan 66 untuk menghancurkan tokoh G30SPKI.

5.           Tiga Tuntutan Rakyat ( Tritura )
Tiga Tuntutan Rakyat atau yang sering dikenal dengan Tritura ini berisi :
1.             Pembubaran organisasi PKI
2.              Pembersihan Kabinet Dwikora
3.             Penurunan harga-harga barang

5.                       Merosotnya Wibawa Soekarno
Kekuasaan dan wibaba Presiden Soekarno semakin merosot setelah usaha untuk mengadili tokoh yang ikut dalam Gerakan 30 September 1965.

6.                   TAP MPRS No XXXIII / 1967 MPRS
TAP MPRS No XXXIII / 1967 MPRS ini berisi pencabutan jabatan presiden dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi presiden. Tanggal 12 Maret 1967 . Soeharto diangkat menjadi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah berlakunya Supersemar , kehidupan berbangsa dan bernegara pun mulai ditata. Dengan dikeluarkannya Supersemar , pemerintah mendapat kepercayaan dari rakyat dan semakin meningkat. Namun setelah itu terjadi masalah dualisme. Soekarno sebagai presiden dan Soeharto menjadi pelaksana pemerintah. Masalah ini membuat Soeharto naik daun apalagi Soekarno menulis surat pengunduran diri dan menyerahkan kekuasaan pada Soeharto. Tanggal 23 Februari 1967 , MPRS mengadakan sidang untuk membicarakan tentang surat pengunduran diri Soekarno dan ingin mengangkan SOeharto menjadi presiden. Akhirnya Soeharto diangkat menjadi presiden pada tanggal 12 Maret 1967 atas dasar TAP MPRS No XXXIII / 1967 MPRS.

B.     LAHIRNYA SURAT PERINTAH 11 MARET 1966

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Keluarnya Supersemar


https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c6/Supersemar.jpg/220px-Supersemar.jpg
Supersemar
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/89/Supersemar2.jpg/220px-Supersemar2.jpg
Supersemar2
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.

Beberapa Kontroversi tentang Supersemar

·     https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b7/Surat_Perintah_Sebelas_Maret_-_President_version.jpg/86px-Surat_Perintah_Sebelas_Maret_-_President_version.jpg
Supersemar Versi AD
·     https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c6/Supersemar.jpg/90px-Supersemar.jpg
Supersemar Versi Lain
·            Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
·         Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
·         Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
·         Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
·         Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, Arsip Nasional telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip Nasional itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.
C.         JATUHNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU
Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto berkuasa di Indonesia selama 32 tahun mengalami keruntuhan pada 21 Mei 1998. Keruntuhan pemerintahan Orde Baru diawali dengan terjadinya krisis multidimensional yang melanda Indonesia sebelum jatuhnya Soeharto.

1. Terjadinya Krisis Multidimensional

a.    Krisis politik
Kemenangan mutlak Golongan Karya dalam pemilu pada tahun 1997 yang dirasakan penuh dengan kecurangan merupakan salah satu awal dari munculnya krisis politik di Indonesia. Golongan Karya yang secara nyata dan jelas didukung oleh pemerintah baik secara finansial maupun secara moril memperoleh suara mayoritas. Kebijaksanaan pemerintah pun juga lebih banyak menguntungkan Golongan Karya, sehingga menjadi single majority (mayoritas tunggal).
Kemenangan Golongan Karya yang dinilai oleh para tokoh pengamat politik di Indonesia sebagai pemilu yang tidak jujur dan adil, karena adanya intimidasi dan ancaman bagi pemilih, terutama di daerah pedesaan. Kemenangan Golongan Karya dalam pemilu tahun 1997 tersebut diikuti oleh kebijaksanaan mendukung kembali kepada Jenderal Purnawirawan Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golongan Karya untuk dicalonkan kembali sebagai presiden pada sidang umum MPR tahun 1998. Hasil sidang umum MPR 1998 akhlmya mendukung Jenderal Purnawirawan Soeharto untuk menjadi presiden untuk periode tahun 1998 sampai tahun 2003.

Penerapan demokrasi Pancasila yang berjalan selama Orde Baru ternyata membawa ketidakpuasan bagi rakyat Indonesia. Karena aspirasi rakyat tidak dapat tersalurkan dan kurang mendapat perhatian oleh pemerintah. Penerapan politik lebih berpihak kepada golongan tertentu saja, terutama bagi para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 sudah disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya di tangan MPR. Akan tetapi dalam pelaksanaannya anggota MPR yang seharusnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu, ternyata sebagian besar dari anggotanya telah diangkat dengan sistem nepotisme. Akibatnya kinerja MPR tidak akan memperjuangkan rakyat, akan tetapi lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan saja.
Melihat kehidupan politik yang seperti itu maka muncullah gerakan reformasi. Gerakan reformasi ini dimotori oleh kalangan akademisi dari berbagai universitas yang didukung oleh mahasiswa dan para dosen. Tuntutan reformasi dalam bidang politik menuntut adanya pergantian presiden, reshufle kabinet, Sidang : Istimewa MPR dan pemilu secepatnya. Gerakan reformasi menuntut dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.

Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket UU Politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, antara lain:
1)   UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
2)   UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang      DPR/MPR
3)   UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
4)   UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
5)   UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

b.    Berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme

Pada masa pemerintahan Orde Baru, adanya gejala perkembangan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal Ini disebabkan kebijakan pemerintah berpeluang untuk KKN. Misalnya dalam kebijakan BPPT, mobil nasional yang bernuansa politik dan kekeluargaan yang menuju pada korupsi. Hal ini jelas merugikan keuangan negara, bahkan dalam pengadaan mobil nasional belum sesuai dengan aturan ITO, akibatnya Indonesia dianggap melanggar aturan perdagangan dunia di bidang automotif. Dalam penegakan hukum kolusi menyebabkan pemberlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan baik dalam jabatan atau fasilitas yang memicu lahirnya reformasi di Indonesia.

c.    Krisis ekonoml

Pada bulan Juli tahun 1997 di kawasan Asia Tenggara terjadi krisis moneter yang pengaruhnya sampai ke Indonesia. Krisis ekonoml dl Indonesia diawali dari lemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997 nilai tukar rupiah turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 5.000,00 pada bulan Deaember. Dalam beberapa bulan bahkan rupiah mengalami penurunan nilai tukar terhadap dolar yaitu berkisar hlngga Rp. 12.000,00 per dolar

Seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, pertumbuhan ekonomi mengalami kelesuan. Para nasabah bank banyak yang menarik dananya dari bank-bank nasional lalu menukarnya dengan dolar. Sedangkan bank nasional tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah merosotnya nilai tukar rupiah sementara bank-bank nasional mengalami kerugian dan kesulitan dana.
Untuk membantu mengatasi krisis pemerlntah mengambil langkah dengan meminta bantuan kepada bantuan Dana Moneter Internaslonal (International Monetary Fund/IMF). Atas usulan IMF, maka pada akhir tahun 1.997 pemerlntah mengadakan likuidasi terhadap 16 bank swasta. Masyarakat mengalaml kepanikan, aklbatnya masyarakat menarik dana-dana yang maslh terslsa dalam bank-bank swasta nasional lalu menyimpannya dl bank-bank asing. Hal Ini mengakibatkan bank-bank swasta nasional semakin terpuruk.
Dalam mengatasi masalah krisis perbankan, pemerintah melakukan program rekapitulasi perbankan dengan mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk menyembuhkan bank-bank yang sakit agar dapat beroperasl kembali. Pemerlntah memberikan anggara sebesar 670 triliun rupiah. Tetapi usaha pemerlntah tersebut tidak berhasil untuk mengatasi masalah perbankan, karena pihak-pihak swasta tidak dapat mengembalikan utangnya. Beban utang tersebut akhirnya menjadi tanggungan dari pemerintah, yang dampaknya semakin menurunya kepercayaan dunia internaslonal.
Krisis moneter tersebut akhirnya berdampak terhadap krisis ekonomi bagi bangsa Indonesia. Selain krisis moneter juga adanya hutang luar negerl Indonesia yang sudah cukup tinggi yaitu mencapai 65 miliar dolar Amerika dan utang swasta mencapai 78 miliar dolar Amerika. Sedangkan hasil pembangunan selama Orde Baru tidak bisa mengimbangi jumlah hutang luar negeri yang harus ditanggung.

Pada bulan Maret tahun 1998 terjadi krisis moneter kembali dimana nilai rupiah turun mencapai Rp. 16. 000,00 per dolar Amerika -Serikat. Akibatnya hutang luar negeri Indonesia semakin membekak dan kepercayaan dunia internaslonal semakin berkurang. Sedangkan perdagangan luar negeri semakin lesu karena para pedagang luar negeri tidak percaya lagi terhadap para importir Indonesia. Hampir semua negara tidak menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia.

d. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945


Pemerintah Orde Baru berencana menjadikan negara Republik Indonesia sebagai .negara industri, namun tidak mempertimbangkan kenyataan perekonomian di tengah masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan agraris dan tingkat pendidikannya masih belum memadahi, sehingga sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri yang hidupnya dinamis dan berpikiran maju. Rendahnya tingkat pendidikan dari sebagian masyarakat sulit untuk bersaing dengan tenaga. kerja asing yang maju pendidikannya.
Pengaturan perekonomian di zaman Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 33, yang tercantum dasar demokrasi ekonomi. Produksi dikerjakan oleh semua untuk kesejahteraan bersama dalam masyarakat, sehingga perekonomian disusun atas asas bersama berdasar kekeluargaan dan yang paling cocok adalah bentuk koperasi. Oleh karena itu cabang produksi yang menguasai hajat orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tetapi kenyataan yang be.rkembang pada masa Orde Baru adalah ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh segelintlr orang-orang kaya atau para konglomerat dengan berbagai bentuk adanya monopoli, oligopoli, sehingga yang sejahtera hanya segelintir orang dari jutaan rakyat Indonesia,

e. Krisis hukum


Praktik hukum pada masa Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Hal Ini terlihat pada kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada Pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif). Namun pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, pengadllan sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim-hakim harus tunduk pada kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah, jika terjadi peradilan yang menyangkut diri penguasa atau para pejabat hukum sering direkayasa dalam pelaksanaan peradilannya untuk pembenarannya.

Kondisi yang demikian sangat memprihatinkan maka reformasi hukum perlu segera dilaksanakan dalam mendudukkan masalah-masalah hukum pada posisi atau kedudukan yang sebenamya. Reformasi hukum hendaknya dipercepat untuk menyongsong era globalisasi yang memerlukan kesiapan dalam bentuk praktik hukum di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang menuju masyarakat yang adil dan merata. Untuk menyongsong hal tersebut maka perlu dipersiapkan aparatur pembentuk perangkat hukum yang bersih dan berwibawa agar praktik hukum di tengah masyarakat memperoleh keadilan yang sesungguhnya.

f. Krisis kepercayaan


Pada masa pemerintahan Orde Bam terjadi praktik KKN di segala bidang. Akibatnya timbul ketidakadilan, kesenjangan sosial orang-orang kaya, para konglomerat hidup berkelimpahan, rakyat hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan, rusaknya sistem politik dan sistem ekonomi.
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah menambah keterpurukan bangsa serta mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Aksi mahasiswa dilakukan agar pemerintah memperbaiki situasi yang semakin tidak menentu. Untuk memperbaiki situasi maka awal Maret 1998 presiden melantik Kabinet Pembangunan VII, namun tidak juga mengalami perubahan yang berarti. Mahasiswa melakukan aksi keprihatinan menuntut turunnya harga sembako, dihapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme dan menuntut turunnya Soeharto dari presiden. Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa semakin gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada tanggal 4 Mei 1998.
Pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi tragedi Trisakti. yakni di kala mahasiswa dari Universitas Trisakti berdemonstrasi, semula dengan cara damai namun berubah menjadi aksi kekerasan, akibatnya empat orang mahasiswa tertembak, yakni Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hendriawan dan Hafidhin Royan. Tidak sedikit para demonstran yang mengalami luka ringan dan luka parah akibat bentrokan itu.

Di Jakarta, Solo, dan kota-kota lain pada tanggal 13 dan 14 Mei terjadi kerusuhan yaitu tindakan anarkis dan penjarahan serta pembakaran terhadap toko-toko dan kendaraan terutama milik keturunan Cina, bahkan banyak mayat yang telah terbakar ditemukan di pusat-pusat pertokoan. Keadaan tersebut berakibat adanya rasa cemas dari orang-orang yang hidup di perkotaan.
Ketika peristiwa Mei terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo (Mesir) dalam rangka menghadiri KTT Non-Blok ke-15. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan masyarakat agar ia mengundurkan diri semakin marak.
Keadaan yang terjadi pada saat itu sangat memprihatinkan juga bagi rakyat di Yogyakarta, maka mereka mengadakan pasowanan ageng di alun-alun dan mendengarkan maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono X yang menganjurkan untuk tetap menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk mengantisipasi keadaan pada waktu itu Presiden Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998 berupaya memperbaiki program Kabinet Pembangunan VII dengan melahirkan kabinet Reformasi dan mengumumkan pembentukan Dewan Reformasi. Langkah yang dilakukan bertujuan memperbaiki kondisi pemerintahan, namun kondisi negara tidak segera membaik.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 10.00 WIB Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan jabatan Presiden kepada Wakil Presiden RI, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru.
PENYEBAB JATUHNYA ORDE BARU

Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru

Berikut ini kronologi jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998.

a.       Tanggal 12 Mei 1998 (Tragedi di Kampus Trisakti)

Peristiwa tragedi di kampus Trisakti ini sungguh sangat disesalkan. Sejumlah aparat keamanan yang kurang memiliki perasaan kemanusiaan mengarahkan senjatanya untuk menembaki mahasiswa di kampus Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta.
Saat itu, empat mahasiswa gugur sebagai pahlawan reformasi. Mereka adalah mahasiswa Usakti yang terdiri dari Elang Mulya Lesmana (mahasiswa teknik arsitektur), Hafidin Royan (mahasiswa ekonomi), Hari Haryanto (mahasiswa ekonomi), dan Hendriawan (mahasiswa ekonomi).

b.       Tanggal 16 Mei 1998 (Rencana Reshuffle Kabinet)

Ketua DPR-MPR Harmoko bersama keempat wakilnya, Abdul Gafur, Syarwan Hamid, Ismail Hassan Metareum, dan Fatimah Achmad, mengadakan konsultasi dengan Presiden Soeharto di Cendana.

Harmoko menjelaskan konsultasi itu kepada pers bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VII. Ini dimaksudkan untuk menciptakan kabinet yang lebih tangguh dan kuat.

c.       Tanggal 18 Mei 1998 (Mahasiswa Tolak Reshuffle dan Tuntut Soeharto Mundur)

Keluarga Besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, yang terdiri dari para dosen dan mahasiswa yang mencapai 15 ribu orang dengan penuh semangat melakukan aksi menolak prakarsa Presiden Soeharto untuk melakukan reshuffle kabinet.
Mereka berkumpul di Balairung UGM. Dalam acara itu dibacakan pernyataan sikap yaitu menuntut Presiden Soeharto mundur sebagai syarat reformasi total, kembalikan ABRI kepada rakyat, dan tolak segala tindakan kekerasan dalam memperjuangkan reformasi.

d.       Tanggal 21 Mei 1998 (Presiden Soeharto Lengser Keprabon)

Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, Wapres prof. Dr. Ing. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan presiden/Mandataris MPR periode 1998-2003.

SUMBER :






No comments:

Post a Comment

welcome !!!